Powered By Blogger

Kamis, 05 Januari 2012

MATEMATIKA DALAM RUKYAH
I. PENDAHULUAN
Perlaksanaan ibadah dalam Islam mempunyai kaitan erat dengan fenomena alam seperti pergerakan bulan, bumi dan matahari. Ini disebabkan perlaksanaan ibadah dilaksanakan dalam batas masa yang tertentu. Masa bergantung kepada pergerakan bumi matahari dan bulan. Hal ini menggerakkan umat Islam untuk sentiasa memperhatikan dan memikirkan kejadian alam.
Setiap ibadah wajib seperti solat, zakat, puasa dan haji mempunyai batas waktu tertentu yang telah ditetapkan dan itu menjadi syarat sah perlaksanaan ibadah. Untuk mengetahui batas waktu itu bisa digunakan ilmu falak. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai rukyah serta penggunaan matematika dalam pelaksanaan rukyah.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian Rukyah?
B. Bagaimana Kriteria Penentuan Awal Bulan dalam Kalender Hijriyah?
C. Bagaimana Penggunaan Matematika dalam Teknis Pelaksanaan Rukyah?
D. Apa Saja Alat yang Digunakan dalam Pelaksanaan Rukyah?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Rukyah
Kata rukyah, seperti halnya kata observation dalam bahasa Inggris yang artinya pangamatan. Rukyat berasal dari bahasa Arab, dari kata jadian raay, yaraa, menjadi ra’yan, ru’yatan dan seterusnya yang berarti melihat atau mengamati.
Dari hadits-hadits yang ada, dapat dipahami bahwa pengertian kata rukyah dan kata-kata jadiannya, secara garis besar dibagi menjadi tiga. Pertama, melihat dengan mata. Kedua, melihat melalui kalbu (intuisi). Ketiga, melihat dengan ilmu pengetahuan.
Dalam diskursus mengenai kalender hijriah, konsep rukyah mengarah kepada metodologi untuk mengetahui hilal. Dalam hal ini rukyah diartikan sebagai pengamatan bulan sabit baru (hilal) sesudah matahari terbenam pada tanggal 29 bulan hijriah. Pada awalnya, rukyah hanya dibatasi dengan melihat menggunakan mata telanjang. Namun, sekarang pelaksanaan rukyah bisa memanfaatkan bantuan alat dan teknologi canggih seperti binokular dan teleskop rukyah.
Kegiatan melihat rukyah adalah memperhatikan hilal di langit sebelah barat menjelang bulan baru. Sebelum melakukan rukyah, kedudukan hilal harus dilokalisir dengan perhitungan yang cermat, yang meliputi:
1. Tinggi hilal
2. Azimut
3. Kemiringan falak bulan dari ekliftika.
B. Kriteria Penentuan Awal Bulan dalam Kalender Hijriyah
1. Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada hadis Nabi Muhammad: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal).”
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
2. Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: ijtima’ (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi hisab wujudul hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
                         
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
3. Imkanur Rukyah MABIMS
Imkanur Rukyah adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
a) Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) bulan-matahari minimum 3°, atau
b) Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyah adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyah dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyah dan metode hisab. Terdapat 3 kemungkinan kondisi :
a) Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
b) Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
c) Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyah. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyah maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyah tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyah menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyah dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2⁰ hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyah (BHR) melakukan kegiatan rukyah (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari.
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
4. Rukyah Global
Rukyah Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
C. Matematika dalam Teknis Pelaksanaan Rukyah
Dalam teknis pelaksanaan rukyah di lapangan, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan, di antaranya:
1. Membentuk tim rukyah yang terdiri dari unsur pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, ormas Islam, tokoh agama dan unsur masyarakat lainnya.
2. Menentukan lokasi rukyah yang bebas halangan untuk memandang ke arah barat dalam melihat hilal.
3. Melakukan hisab awal bulan untuk mengetahui waktu dan posisi matahari terbenam, posisi dan ketinggian hilal pada saat matahari terbenam, lama hilal di atas ufuk, saat hilal terbenam.
4. Membuat gawang lokasi jika rukyah menggunakan gawang lokasi
5. Menyiapkan dan memasang alat bantu rukyah yang diperlukan
6. Melakukan pengamatan terhadap hilal dengan memfokuskan pandangan serta perhatian ke titik fokus posisi hilal pada orbit bulan, sejak matahari terbenam sampai saat hilal terbenam.
7. Menyusun laporan rukyah dan menyampaikan kepada pemerinyah untuk dijadikan bahan pertimbangan oleh dewan itsbat dalam menentukan awal bulan.
Rumus dasar goniometri, dapat digunakan dalam menentukan posisi hilal pada pelaksanaan rukyah secara sederhana.







Menghisab ketinggian bulan:

Menghisab azzimuth:

D. Alat-alat yang Digunakan dalam Rukyah
1. Gawang lokasi
Adalah sebuah alat sederhana untuk menentukan kira-kira posisi hilal dalampelaksanaan rukyah. Terdiri dari dua bagian:
a. Tiang pengincar, sebuah tiang tegak terbuat dari besi yang tingginya sekitar satu sampai satu setengah meter dan pada puncaknya diberi lubang kecil untuk mengincar hilal.
b. Gawang lokasi, yaitu dua buah tiang tegak, terbuat dari besi berongga semacam pipa. Pada ketinggian yang sama dengan tinggi tiang teropong, kedua tiang tersebut dihubungkan oleh mistar datar, sepanjang kira-kira 15-20 sentimeter, sehingga kalau kita melihat melalui lubang kecil yang terdapat pada ujung tiang pengincar menyinggung garis atau mistar tersebut, pandangan kita akan menembus persis permukaan air laut yang merupakan ufuk mar’i.
Di atas kedua tiang tersebut terdapat pula dua buah tiang besi yang atasnya sudah dihubungkan oleh mistar mendatar. Kedua tiang ini dimasukkan ke dalam rongga dua tiang pertama, sehingga tinggi rendahnya dapat distel menurut tinggi hilal pada saat observasi.
Jarak yang baik antara tiang pemancar dan gawang lokasi sekitar lima meter atau lebih. Jadi fungsi gawang lokasi adalah untuk melokalisir pandangan kita agar tertuju ke arah posisi hilal yang sudah diperhitungkan lebih dulu.
2. Mistar radial
Adalah alat sederhana untuk mengukur derajat posisi suatu benda langit dari posisi yang ditentukan. Alat ini terbuat dari sebuah mistar atau benda lurus lainnya yang diberi skala milimeter dan sentimeter. Dasar penggunaan alat ini adalah perhitungan 1 radial=0,0174533. Artinya kalau seseorang melihat ke arah mistar dengan jarak 50 cm, maka jarak 1⁰=50 cm x 0,0174533 = 0,87 cm.
Alat ini penting sekali bagi orang yang melaksanakan rukyatul hilLal dengan mata telanjang.
Dengan hanya memiliki data ketinggian hilal pada saat matahari terbenam dan selisih azimuth hilal dengan azimuth matahari, orang dapat menentukan posisi hilal. Caranya, tempat matahari terbenam pada horizon diberi tanda dengan sebuah tongkat atau tanda lainnya yang terdapat pada horizon itu sendiri. Dari tempat itu, diukur dengan mistar radial yang sudah diberi tanda satuan derajat.
Untuk menentukan azimuth hilal, mistar radila dipegang dengan ibu jari dan telunjuk, letaknya harus horizontal berimpit dengan ufuq mar’i. Lalu diletakkan di depan mata dengan tangan lurus ke depan. Jarak antara ujung mistar dan azimuth hilal. Kemudian, pandangan mata si peninjau diarahkan kepada ujung ibu jarinya menembus ke posisi matahari terbenam, lalu diarahkan ke ujung mistar dan menembus sampai ke ufuq mar’i. Posisi itu merupakan titik proyeksi hilal pada ufuq mar’i (azimuth hilal).
Untuk menentukan posisi hilal, mistar radial dipegang vertikal. Jarak ibu jari dengan ujung mistar adalah seharga tinggi hilal pada saat matahari terbenam. Ibu jari diletakkan pada posisi titik proyeksi hilal pada ufuq mar’i. Kemudian pandangan diarahkan kepada ujung mistar radial hingga menembus bola langit di atas ufuq mar’i. Posisi pada bola langit itulah merupakan posisi hilal pada saat matahari terbenam.
3. Pemotret bintang dan pesawat equatoral
Adalah alat pemotret yang dapat mengambil gambar suatu benda langit. Alat ini harus ditempatkan pada sebuah teropong yang ditujukan tepat pada benda langit tersebut. teropong yang biasa digunakan untuk memotret bintang adalah “pesawat equatoral”, sebuah teropong yang sumbunya diletakkan searah dengan sumbu langit. Sehingga koordinat yang dipakai bukan lagi tinggi dan azimuth melainkan deklinasi dan ascensio rekta, dengan bantuan jam bintang.


4. Theodolit
Adalah sebuah alat yang dipergunakan untuk menentukan tinggi dan azimuth suatu benda langit. Alat ini mempunyai dua sumbu, sumbu vertikal dan sumbu horizontal untuk melihat skala azimuth. Theodolit ada yang khusus dipakai untuk menentukan tinggi benda langit yang sedang berkulminasi, artinya ukuran azimuthnya sudah ditetapkan permanen, yaitu 0⁰ dan 180⁰. Teropongnya diletakkan vertikal dan hanya bebas bergerak ke arah utara selatan.
IV. KESIMPULAN
1. Rukyat adalah aktivitas mengamati hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
2. Dalam penetapan awal bulan qomariyah terdapat kriteria-kriteria yang harus dipenuhi hasil rukyah. Di Indonesia, kriteria tersebut harus sesuai dengan kriteria imkanur rukyah.
3. Dalam teknis pelaksanaan rukyah, di dalamnya digunakan rumus-rumus matematika geneometri.
4. Alat-alat yang dapat menunjang pelaksanaan rukyah diantaranya adalah gawang lokasi, mistar radial, theodolit.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca yang budiman. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan. Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2007.
Badan Hisab dan Rukyah Departemen Agama. Almanak Hisab dan RukyaT. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama RI. 1981.
Jamil, A. Ilmu Falak: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Amzah. 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat. diakses 16 Oktober 2011 pukul 14.00.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar